Iklan 300x250
Dulu sewaktu masih kecil sekitar umur 8 tahun (1980), saya pernah melihat atraksi pencak silat tradisional jawa kuno yang biasa disebut pencak dor. Dinamakan pencak dor karena diiringi irama bedug yang disebut jidor. Pencak dor ini dulu sangat terkenal di jawa timur pada waktu itu. Setiap ada atraksi pencak dor pasti dihadiri oleh para pendekar-pendekar sakti dari berbagai daerah di jawa timur yang memang sengaja diundang.
Pertandingan silat ini tidak memperebutkan piala atau medali apapun, melainkan hanya semata-mata bertujuan untuk melestarikan budaya pencak silat asli jawa serta menjalin kerukunan sesama perguruan pencak dor. Yang menang tidak mendapat hadiah dan yang kalah juga tidak mendapat uang.
Biasanya pertandingan dimulai pada jam 8 malam hari ditengah lapangan. Dua pendekar masuk ke arena diiringi alunan musik tradisional jidor, yaitu bedug yang dipukul-pukul secara berirama. Arena pertandingan dikelilingi oleh para pesilat lain serta ratusan penonton dari berbagai desa.
Sebelum pertandingan dimulai masing-masing pendekar memperagakan jurusnya secara bergantian. Setelah masing-masing memamerkan jurusnya lantas pertandingan di mulai. Pertama, kedua pendekar bertarung dengan bersenjata pedang. Kedua pedang saling berkelebat menyerang lawannya. Benturan kedua pedang ini selalu menimbulkan percikan api di atas awang-awang. Mereka bisa melompat tinggi dan saling menekan dengan kedua pedang, yang satu berada di atas dan satunya lagi berada di bawah. Persis seperti pada film-film laga Indonesia.
Namun sayang, belum ada lima menit kedua pedang pasti hancur terkena remasan tangan-tangan sakti dua pendekar yang berebut pedang. Setelah pedang hancur keduanya berhenti sejenak, lalu masing-masing diberi senjata cambuk yang terbuat dari rotan besar. Lagi-lagi belum ada lima menit kedua campuk hancur terkena remasan tangan-tangan kedua pendekar. Cambuk sekeras itu terlihat seperti kerupuk ketika diremas tangan pendekar yang saling berebut cambuk.
Selanjutnya pertarungan dilanjutkan dengan tangan kosong yang berisi tenaga dalam. Ini adalah saat-saat penentuan siapa pendekar yang lebih unggul. Kedua pendekar saling melempar pukulan mautnya. Namun anehnya pertarungan gaya kuno ini tidak sama dengan pertandingan pencak silat jaman sekarang. Setelah beberapa menit mereka saling menyerang dengan lompatan saktinya, akhirnya mereka berhenti untuk adu kekuatan.
Mereka berdiri tegak, lalu secara bergantian memukul dada lawannya sampai salah satu dari mereka roboh. Jika roboh berarti kalah. Setelah ada yang roboh, maka akan digantikan oleh dengan pendekar lain yang menunggu giliran. Jika pendekar satu ini terlalu kuat, maka lawannya akan ditambah lagi dengan pendekar lain. Bahkan sampai terjadi satu lawan tiga. Pendekar yang paling unggul ini sulit dikalahkan.
Akhirnya pendekar yang paling unggul ini melepas baju hitamnya lalu mempersilakan lawan-lawannya menyabetkan pedang ke tubuhnya. Hasilnya, semua pedang terpental dan tidak ada yang bisa menyentuh kulitnya. Benar-benar fantastis.
Acara ini terus berlangsung hingga lewat tengah malam hingga akhirnya sebagai penutup dilakukan atraksi memamerkan ilmu kebal tingkat tinggi. Sang pendekar tengkurap ditanah lalu ditutup papan berisi ratusan paku tajam, lantas dilintas sepeda motor. Hasilnya, tidak ada satupun paku yang bisa melecetkan tubuh pendekar ini. Akhirnya acarapun berakhir dengan diiringi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton.
Kebudayaan pencak dor ini saya saksikan di desa kelahiran saya di jawa, tepatnya di Malang selatan, Jawa Timur pada tahun 1980. Namun sayang, kebudayaan tradisional yang langka dan menakjubkan itu kini telah punah karena tidak ada yang meneruskan. Para pendekar jawa kuno yang sering memeriahkan atraksi pencak dor tersebut kini semuanya telah tiada.
Pertandingan silat ini tidak memperebutkan piala atau medali apapun, melainkan hanya semata-mata bertujuan untuk melestarikan budaya pencak silat asli jawa serta menjalin kerukunan sesama perguruan pencak dor. Yang menang tidak mendapat hadiah dan yang kalah juga tidak mendapat uang.
Biasanya pertandingan dimulai pada jam 8 malam hari ditengah lapangan. Dua pendekar masuk ke arena diiringi alunan musik tradisional jidor, yaitu bedug yang dipukul-pukul secara berirama. Arena pertandingan dikelilingi oleh para pesilat lain serta ratusan penonton dari berbagai desa.
Sebelum pertandingan dimulai masing-masing pendekar memperagakan jurusnya secara bergantian. Setelah masing-masing memamerkan jurusnya lantas pertandingan di mulai. Pertama, kedua pendekar bertarung dengan bersenjata pedang. Kedua pedang saling berkelebat menyerang lawannya. Benturan kedua pedang ini selalu menimbulkan percikan api di atas awang-awang. Mereka bisa melompat tinggi dan saling menekan dengan kedua pedang, yang satu berada di atas dan satunya lagi berada di bawah. Persis seperti pada film-film laga Indonesia.
Namun sayang, belum ada lima menit kedua pedang pasti hancur terkena remasan tangan-tangan sakti dua pendekar yang berebut pedang. Setelah pedang hancur keduanya berhenti sejenak, lalu masing-masing diberi senjata cambuk yang terbuat dari rotan besar. Lagi-lagi belum ada lima menit kedua campuk hancur terkena remasan tangan-tangan kedua pendekar. Cambuk sekeras itu terlihat seperti kerupuk ketika diremas tangan pendekar yang saling berebut cambuk.
Selanjutnya pertarungan dilanjutkan dengan tangan kosong yang berisi tenaga dalam. Ini adalah saat-saat penentuan siapa pendekar yang lebih unggul. Kedua pendekar saling melempar pukulan mautnya. Namun anehnya pertarungan gaya kuno ini tidak sama dengan pertandingan pencak silat jaman sekarang. Setelah beberapa menit mereka saling menyerang dengan lompatan saktinya, akhirnya mereka berhenti untuk adu kekuatan.
Mereka berdiri tegak, lalu secara bergantian memukul dada lawannya sampai salah satu dari mereka roboh. Jika roboh berarti kalah. Setelah ada yang roboh, maka akan digantikan oleh dengan pendekar lain yang menunggu giliran. Jika pendekar satu ini terlalu kuat, maka lawannya akan ditambah lagi dengan pendekar lain. Bahkan sampai terjadi satu lawan tiga. Pendekar yang paling unggul ini sulit dikalahkan.
Akhirnya pendekar yang paling unggul ini melepas baju hitamnya lalu mempersilakan lawan-lawannya menyabetkan pedang ke tubuhnya. Hasilnya, semua pedang terpental dan tidak ada yang bisa menyentuh kulitnya. Benar-benar fantastis.
Acara ini terus berlangsung hingga lewat tengah malam hingga akhirnya sebagai penutup dilakukan atraksi memamerkan ilmu kebal tingkat tinggi. Sang pendekar tengkurap ditanah lalu ditutup papan berisi ratusan paku tajam, lantas dilintas sepeda motor. Hasilnya, tidak ada satupun paku yang bisa melecetkan tubuh pendekar ini. Akhirnya acarapun berakhir dengan diiringi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton.
Kebudayaan pencak dor ini saya saksikan di desa kelahiran saya di jawa, tepatnya di Malang selatan, Jawa Timur pada tahun 1980. Namun sayang, kebudayaan tradisional yang langka dan menakjubkan itu kini telah punah karena tidak ada yang meneruskan. Para pendekar jawa kuno yang sering memeriahkan atraksi pencak dor tersebut kini semuanya telah tiada.
Iklan 336x280
______________________________________________________________________
2 komentar:
Assalam..sy tertarik dgn penceritaan ini..sy terpanggil bagi mengupas pencak silat dari keturunan datuk sy..ade mungkin persilatan yg diamalkan oleh datuk sy sememangnye dr Jawa Kuno..
Salam pengenalan
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan dan komentar Anda